Ketika aku terbangun, kudapati Fina terus-menerus menangis. Kutengok jam dinding dan ...wah..sudah shubuh rupanya.
“Cup..cup..sayang..kenapa nak?” kucoba menenangkan putri kecilku sambil menggendongnya.
Setelah tenang aku membangunkan Mida untuk sholat Shubuh, kupikir dia masih pulas. Aku putuskan untuk sholat terlebih dahulu sambil membangunkan Dewi, putri sulungku.
Setelah sholat berjama’ah dengan Dewi, aku kembali membangunkan Mida. Aku tidak memperhatikan wajahnya yang pucat, kupegang tangannya...
“Astaghfirullah..dingin sekali..”
Sampai di situ Bapak menghentikan ceritanya padaku tentang bagaimana Ibu meninggal, Bapak tak sanggup menceritakan lebih banyak lagi, aku pun tak tega melihat orang tuaku ini mengeluarkan air matanya lagi.
Dari cerita Mama Ifah (adik mendiang ibuku) pada hari Ibu meninggal, Bapak terlihat begitu terpukul dan frustasi. Yang dia lakukan sepanjang hari itu adalah memandangi beras pemberian para pelayat dan bergumam pelan..
“Istriku mereka tukar dengan beras..istriku mereka tukar dengan beras..” begitu terus sampai sore.
Bapak lupa untuk mengurus ketiga putrinya, apalagi aku yang masih bayi. Padahal di rumah kami waktu itu, tidak ada kerabat yang membantu mengurus jenazah ibu. Hanya tetangga-tetangga terdekat. Sampai akhirnya Mama Ifah datang bersama Eyang Putri, Eyang Kakung tidak datang untuk melayat. Beliau tak sadarkan diri ketika mendengar kabar Ibu meninggal. Berdua, Eyang dan tanteku itu mengurus semuanya. Termasuk aku dan kakak-kakakku. Sampai pada waktu sore, Nenekku dari pihak Bapak yang berada di Surabaya datang dan Bapak menangis di pelukannya.
“Wis toh le..kamu mau sampai kapan seperti ini? Kasihan anak-anak kamu masih kecil. Ikhlaskan Mida, dia tidak akan tenang di sana kalau kamu tidak bisa merelakan dia pergi.” Nenek mencoba menenangkan Bapak.
Tak lama Bapak pun memeluk kedua kakakku, dan mengambilku dari gendongan Mama Ifah. Bapak terus menerus menciumiku yang masih merah dan pastinya tak tahu apa-apa.
Mama Ifah juga pernah bercerita kalau pada saat itu Bapak kerepotan mengurus kami. Belum lagi Mbak Vida yang hampir setiap petang selalu mengajak Bapak berjalan menyusuri desa dan tak berhenti bertanya,
"Ibu kemana Pak? Ayo kita cari Ibu, ayo kita susul Ibu pulang Pak.. Vida kan kangen ma Ibu Pak..." begitu terus sampai dia tertidur di gendongan Bapak. Maklum dia masih berumur 3 tahun waktu itu, pasti belum memahami apa yang tengah terjadi.
Kasihan Bapak, pasti dia sangat lelah, sedih dan nelangsa. Hanya ditemani Nenek yang belum kembali ke Surabaya, Bapak mengurus kami bertiga. Bapak juga harus cuti dari kerjanya untuk sementara waktu. Karena Bapak masih belum bisa meninggalkan kami.
Pernah suatu waktu Mama Ifah berkunjung ke rumah kami, dan Bapak mengutarakan kebingungannya,
"Piye iki Fah, anak-anak ga ono sing ngurus..aku kan juga harus kerja. Kalau seperti ini terus menerus, bagaimana aku bisa merawat dan membesarkan mereka.."
Mendengar Bapak seperti itu Mama Ifah tidak tega..
"Tak pernah aku membayangkan harus berpisah dengan Mbak mu secepat ini Fah. Anak-anak masih terlalu kecil, aku ora iso ngurus mereka sebaik Mida.."
Akhirnya, Mama Ifah dan Eyang Putri memutuskan akan merawatku. Bukan bermaksud untuk memisahkan aku dengan Bapakku dan juga kedua kakakku, tapi karena ingin membantu meringankan sedikit beban Bapak. Kedua kakakku tetap ikut Bapak, tapi Bapak tidak lagi tinggal di Malang. Melainkan hijrah ke Kalimantan, karena pekerjaan di sana lebih menjanjikan. Nenek pun ikut dengan Bapak dan meninggalkan Surabaya. Karena Nenek mengerti bahwa pasti Bapak tidak akan bisa bekerja dengan baik kalau anak-anaknya tidak ada yang mengurusnya. Tiga tahun setelah Ibu meninggal, Bapak menikah lagi dengan seorang perempuan yang memang tidak bisa mempunyai keturunan dan memutuskan untuk tinggal sementara di Kalimantan.
Eyang Kakung dengan senang hati merawat dan membesarkan aku, beliau merasa bersalah karena selama ini sudah mengacuhkan aku, kakak-kakakku dan terutama Ibuku. Memang, menurut cerita yang kudengar dari Bapak ketika aku bertanya bagaimana Bapak dan Ibu bisa menikah, Bapak berujar bahwa...dulu hubungan Bapak dengan Ibu tidak mendapat restu dari orang tua Ibu, terutama Ayahnya Ibu. Beliau memang termasuk orang yang berada, sedangkan Bapak adalah pegawai sebuah bengkel kecil dan perantauan dari Surabaya. Yang menurut Eyang waktu itu tidak bisa menjanjikan kehidupan yang layak untuk Ibu. Karena bisa dikatakan orang tua Bapak adalah orang miskin, sedangkan orang tua Ibu adalah orang kaya. Karena hubungan yang tidak direstui itu, Bapak memilih untuk mundur dan melepas Ibu.
Pasti apa yang sudah diputuskan oleh orang tua kita, itulah yang terbaik. Mungkin kita memang ditakdirkan untuk menjadi saudara. Jaga dirimu baik-baik, mudah-mudahan kamu mendapatkan suami yang lebih baik daripada aku. Aku selalu mencintaimu.
Tertanda,
Yanto
Begitu kurang lebih isi surat yang Bapak tulis untuk Ibu, dan tak lama setelah Ibu menerima surat itu. Bapak mendengar kabar kalau Ibu jatuh sakit. Ibu tidak tahan dengan ini semua. Karena Ibu juga sangat mencintai Bapak. Pada saat sakit Ibu itulah, Eyang Kakung merapikan meja di kamar Ibu. Dan Eyang menemukan surat yang Bapak tulis untuk Ibu. Aku sempat berfikir, pasti Eyang semakin marah kepada Bapak dan juga Ibu. Ternyata,
“Eyang kamu malah mengijinkan Bapak untuk melamar Ibu kamu, nduk..” dengan senyum manis Bapak meneruskan ceritanya.
Ya.. walaupun Eyang menyetujui pernikahan Bapak dan Ibu, bukan berarti Eyang sudah membuka hatinya untuk Bapak. Eyang sama sekali tidak pernah menengok kami bahkan pada hari kami lahir, dari mulai Mbak Dewi dan Mbak Vida, sampai aku lahirpun tak pernah Eyang Kakung mau menyempatkan diri untuk menengok kami. Selalu Mbak Dewi atau Mbak Vida yang merengek ke Bapak untuk diajak ke rumah Eyang Kakung. Ibu juga wataknya keras, beliau tidak mengijinkan kakak-kakakku main ke rumah Eyang. Kalau ketahuan, bisa-bisa Ibu marah besar. Mungkin Ibu juga sakit hati dengan perlakuan Eyang Kakung.
Sebenarnya Eyang Kakung sangat sayang kepada kami semua termasuk Bapak. Tapi, Eyang terlalu arogan untuk mengakuinya. Hal ini dibuktikan ketika selama aku dirawat oleh Mama Ifah, yang tentu saja di rumah Eyang Kakung karena Mama Ifah waktu itu belum menikah dan tengah kuliah.
Ketika umurku menginjak 5 tahun, saat itulah aku bertemu dengan Bapak untuk pertama kalinya. Dan aku memanggilnya..
“Hallo Om...” tentu saja Bapak seketika itu juga menangis dan memelukku.
Bapak merasa sangat sedih karena aku tidak mengenalinya. Ini semua karena Eyang Kakung masih menyimpan beberapa informasi tentang siapa Ibu dan Bapakku. Eyang hanya memberi tahuku bahwa aku punya Mama, yaitu Mama Ifah yang selama ini merawatku. Itu karena Eyang begitu menyayangiku dan sangat takut kehilangan aku. Eyang takut kalau suatu saat aku mengetahui siapa orang tuaku sebenarnya, maka aku akan meninggalkannya. Kasihan Eyang, rasa bersalahnya kepada mendiang Ibu begitu besar. Dan rasa sayangnya kepadaku pun begitu besar. Mungkin melebihi rasa sayangnya kepada anak-anak dan cucu-cucunya yang lain.
Pernah waktu itu secara tidak sengaja aku menemukan foto perempuan yang wajahnya mirip denganku.
“Eyang....ini siapaa?” teriakku pada Eyang Kakung yang tengah menonton televisi.
Waktu itu aku masih berumur 8 tahun, dan kulihat mata Eyang berkaca-kaca. Dan merebut foto itu dari tanganku, kemudian masuk ke kamarnya dan menguncinya. Aku hanya bisa termenung, ada suatu kesedihan yang kurasakan. Aku lihat pada wajah Mama Ifah ada sedikit mendung yang sama yang kulihat di wajah Eyang. Dan pada saat itulah Mama Ifah mulai menjelaskan kepadaku siapa Bapak dan Ibuku, dan perempuan di foto itu adalah mendiang Ibuku. Ibu Midah..
Begitu banyak tahun aku lalui tanpa sosok Ayah atau Bapak yang nyata dalam penglihatanku, Bapakku sendiri yang pernah aku panggil “Om” itu pun hanya beberapa bulan sekali menengokku. Entah merasa kehilangan atau kangen, tiap sebulan sekali aku pasti sakit. Meriang, panas dingin. Tapi begitu Mama Ifah mencoba menghubungi Bapak lewat telfon dan aku sebentar saja mengobrol dengan Bapak lewat telfon, panasku reda. Dan satu hal positif yang kami dapatkan semenjak aku dirawat Eyang. Hubungan Eyang Kakung dan Bapak membaik dan sangat baik. Eyang sering berbicara padaku bahwa Ibu tidak salah memilih suami.
“Yanto iku wong apik, nduk...” sambil menerawang Eyang sering berucap begitu seolah berbicara dengan Ibu..
Walaupun kini Bapak telah menikah lagi, beliau tak pernah lupa berziarah ke makam Ibu tiap pulang ke Malang. Dan pernah aku sampai menitikkan air mataku ketika melihat Bapak mengelus nisan pusara Ibu,
“Sayang, ini aku datang bersama anak-anak dan saudaramu. Dia perempuan yang baik, sangat menyayangi putri-putri kecil kita. Aku hanya bisa berdo’a untukmu sayang,semoga kamu di sisi Allah SWT mendapat kenikmatan yag tiada tara. Sabar ya..jika waktunya tiba, kelak aku pasti akan menemuimu..” begitu syahdu Bapak mengucapkan itu.
Sempat aku melihat ke arah Mama Tina, Ibu tiriku. Beliau tidak secantik Ibu, pikirku. Tapi beliau berhati selembut Ibu dan juga Mama Ifah.
Ketika aku menginjak usia 13 tahun, aku putuskan untuk tinggal bersama Bapak. Karena Bapak sudah tidak lagi di Kalimantan. Tetapi, sudah menetap lagi di Malang. Alhamdulillah, usaha bengkel Bapak di Kalimantan sudah sukses dan bisa dikontrol jarak jauh, karena ada Om Tomi (adik Ibu) yang mengurusnya di sana. Apalagi sekarang Mama Ifah sudah menikah dan mempunyai seorang putra yang baru berumur 2 tahun. Aku berfikir pasti Mama Ifah tidak akan keberatan jika aku ikut Bapak. Walaupun bagiku Mama Ifah adalah Mama dan juga Ibuku. Aku mencoba mengutarakan keinginanku kepada Mama Ifah.
“Boleh kan Ma..Na pengen ikut Bapak Yanto. Nanti pasti sering main ke sini ko...” rayuku
Mama Ifah tersenyum tapi matanya berkaca-kaca. Mungkin dia akan merasa kehilangan aku, maklum aku sudah seperti anaknya sendiri. Dan Mama Ifahpun membicarakan keinginanku kepada Eyang Kakung. Awalnya Eyang marah tapi setelah aku berjanji untuk tetap berkunjung setiap akhir pekan, akhirnya Eyang menyetujuinya. Dan inilah hadiah ulang tahunku yang ke-13. Eyang sendiri yang mengantarku ke rumah Bapak.
“Yanto, selama ini aku wis salah karo kowe le..Rawat Fina baik-baik yo, arek iki gantine Mida..” sambil terisak Eyang berbicara pada Bapak.
Bapak pun memeluk Eyang dan berjanji akan menjaga dan merawatku.
Dari Bapak aku belajar, bahwa cinta memang tak terbendung jarak dan waktu. Bahwa cinta tak terbatas dan tidak harus memiliki dan dimiliki. Karena seperti yang Bapak selalu bilang pada Ibu,
“Dengan merawat dan membesarkan tiga peri kecil kita. Aku merasa selalu dekat denganmu, Mida..”
dedicated to all PARENTS in this world YOU're so amazing n' I love you all
Is it a true story???
ReplyDeleteFIKSI
ReplyDeletehaahahaha